Adiwarman Karim | Daan Yahya | Republika

Analisis

Vivere Pericoloso

Ketika perkonomian semakin suram, Bung Karno juga menerbitkan Deklarasi Ekonomi pada 1963.

Oleh ADIWARMAN A KARIM

OLEH ADIWARMAN A KARIM

Vivere pericoloso adalah frasa Italia yang berarti "hidup menyerempet bahaya". Di Indonesia, ungkapan ini menjadi terkenal setelah pidato kenegaraan Bung Karno pada HUT ke-19 RI dengan judul "Tahun Vivere Pericoloso", disingkat Tavip, kira-kira setahun sebelum terjadinya peristiwa G30S PKI. Tahun vivere pericoloso terjadi dua tahun setelah Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games keempat pada 1962.  

Tahun 2020 ini, juga dua tahun setelah Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games ke-18 tahun 2018, sejarah seakan berulang. Indonesia kembali mengalami tahun vivere pericoloso. Pertama, ancaman bahaya Covid-19. Kedua, perekonomian yang memburuk. 

Pada 1960-an, utang Indonesia melambung padahal ekspor menurun. Misalnya, pendapatan devisa dari sektor perkebunan jatuh dari 442 juta dolar AS pada 1958 ke 330 juta dollar AS pada 1966. Tambah parah lagi ketika pemerintah dengan mudahnya mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek megah seperti pembangunan Monas. Pendapatan per kapita Indonesia menurun secara signifikan terutama pada 1962-1963. 

 
Berbagai inisiatif pemerintah dalam menghadapi dampak ekonomi Covid-19, patut diacungi jempol. Sampai kemudian kita terhenyak dengan RUU Cipta Kerja. 
 
 

Thee Kian Wee, begawan ekonomi Indonesia, dalam kajian Krisis Ekonomi di Indonesia Pada Pertengahan 1960-an dan Akhir 1990-an Suatu Perbandingan berkesimpulan tujuan-tujuan ekonomi sering kali dicampuradukkan dengan tujuan-tujuan politik kebudayaan. Pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dalam pandangan beliau “ambisius dan tidak realistis”.

Membandingkan perekonomian saat ini dengan tahun 1960-an jelas tidak tepat. Berbagai inisiatif pemerintah dalam menghadapi dampak ekonomi Covid-19 patut diacungi jempol. Sampai kemudian kita terhenyak dengan RUU Cipta Kerja. 

RUU yang harusnya disambut gembira, ternyata malah menimbulkan kegaduhan. Pertama, RUU ini mendorong penciptaan lapangan kerja baru. Kedua, memudahkan pembukaan usaha baru. Ketiga, mendukung pemberantasan korupsi.

Tiga tujuan mulia ini yang harusnya dipandang sebagai solusi ekonomi malah memicu kemarahan. Mengambil kesempatan dalam kesempitan dapat terjadi di pihak yang pro maupun yang kontra.

Bivitri Susanti, pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, dalam artikelnya Politik Hukum Omnibus Cipta Kerja menyoroti dua aspek. Pertama, prosesnya kurang pas. Kedua, substansinya masih memerlukan pemahaman dampak pasal per pasal. Dalam istilah beliau “the devil is in the details”, celah hukum dapat timbul dari tafsir kata per kata dalam pasal.

Majelis Ulama Indonesia dalam Pandangan dan Sikap MUI terhadap RUU Cipta Kerja bertanggal 3 Juli 2020 menelaah maslahat dan mudharat RUU ini. Memang tidak ada yang sempurna.

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dalam kajian Catatan Kritis dan Rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja pada Maret 2020 menyimpulkan partisipasi merupakan aspek penting dalam penyusunan perundangan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.   

 
Dekon gagal karena aturan-aturan turunan dari 14 aturan pokok itu bertentangan dengan aturan pokoknya.
 
 

Kajian UGM itu memprediksi RUU ini memerlukan 500 aturan turunan karena sifat omnibus yang tidak mungkin mengatur rinci segala sesuatunya. Ini tantangan berikutnya untuk memastikan semua aturan turunan itu selalu konsisten dengan aturan di atasnya dan aturan terkait lainnya.

Ketika perkonomian semakin suram, pemerintahan Bung Karno menerbitkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada 28 Maret 1963 yang terdiri 14 peraturan pokok. Dekon menjadi strategi dasar ekonomi Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum Revolusi Indonesia.

Dekon gagal karena aturan-aturan turunan dari 14 aturan pokok itu bertentangan dengan aturan pokoknya. TK Tan, peneliti Universitas New England, dalam artikelnya Indonesia's Guided Economy and Its Implementation menjelaskan, kekisruhan yang terjadi dalam penerapan kebijakan ekonomi terpimpin.

Panglaykim dan Heinz Arndt, masing-masing profesor Universitas Indonesia dan profesor Universitas National Australia, dalam bukunya The Indonesian Economy: Facing a New Era menjelaskan dengan sangat baik persoalan ekonomi Indonesia saat itu. Proyek infrastruktur, proyek mercusuar seperti Asian Games, konfrontasi Malaysia, keluar dari PBB dan IMF membuat tekanan semakin berat.

Keadaan saat ini sangat berbeda dengan era Demokrasi Terpimpin. Memang ada banyak proyek infrastruktur, ada Asian Games. Tetapi tidak ada konfrontasi, tidak pula keluar dari PBB dan IMF. Indikator ekonomi makro terjaga baik.

Memang ada omnibus law yang memerlukan aturan turunan seperti Dekon memerlukan aturan turunan. Teteapi kita masih punya waktu. Forget the mistakes, remember the lessons.

 
Memang ada omnibus law yang memerlukan aturan turunan seperti Dekon memerlukan aturan turunan. Tapi kita masih punya waktu.
 
 

Dalam konteks yang sangat berbeda, memang ada kemiripan perebutan pengaruh ekonomi antara AS dan Cina di Indonesia. Peter Hauswedell, peneliti Universitas Cornell, dalam kajiannya Sukarno: Radical or Conservative? menggambarkan tarik menarik pengaruh itu. 

Joseph Nye, profesor Universitas Harvard, dalam artikelnya The Cooperative Rivalry of US China Relations mengingatkan yang terjadi bukanlah Cold War alias Perang Dingin dalam artian hubungan AS dan Uni Soviet dulu. Yang lebih tepat untuk menggambarkan hubungan AS dan Cina adalah kerja sama rivalitas antara keduanya.

Hubungan mesra Arab Israel saat ini juga dalam kerangka rivalitas AS-Cina. AS sangat berkepentingan merangkul juga Timur Tengah untuk mengimbangi pengaruh Cina di Afrika dan Asia.

India dan Indonesia terlalu besar untuk diabaikan dalam tarik-menarik pengaruh itu. India memang memiliki sejarah konflik perbatasan dengan Cina. Tinggal Indonesia yang harus lincah dan tegar dalam politik bebas aktif.

Ketika Bani Umayyah berkuasa, umat Islam mengalami kemajuan ekonomi yang luar biasa. Pembangunan infrastruktur, perluasan wilayah, dan kemakmuran. Namun banyak sekali rakyat merasakan hilangnya roh keadilan dan mengayomi sebagaimana zaman Khulafa Rasyidin.

Puncak kegaduhan terjadi di zaman Yazid bin Muawiyah. Perlawanan Abdullah bin Zubair memang dapat dipadamkan pada masa Abdul Malik bin Marwan. Namun api dalam sekam tetap membara.

Mengembalikan rasa percaya rakyat kepada pemimpin, baru pulih di zaman Umar bin Abdul Aziz. Rakyat merasakan seakan munculnya Khulafa Rasyidin kelima, yang mencintai dan dicintai rakyatnya.

Namun keadaan kembali gaduh setelah beliau wafat dan digantikan oleh Yazid bin Abdul-Malik. Dengan pilih kasih dan kepentingan etnis politis, pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik bersikap represif menekan lawan politiknya. Kerusuhan dan kemerosotan ekonomi terus berlanjut hingga masa pemerintahan berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik. 

Forget the mistakes, remember the lessons. Rasulullah SAW berdoa “Ya Allah barang siapa yang memegang urusan umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka timpakan kesusahan padanya. Barang siapa yang memegang urusan umatku dan memberikan kemudahan pada mereka, maka berikanlah kemudahan padanya."

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat