Oleh: Putra M Akbar

Deretan rumah panggung berdiri kokoh di atas air berwarna hijau yang menggenangi kampung yang di kenal Kampung Apung. Kampung ini dihuni oleh sekitar 200 kepala keluarga dengan luas tiga hektare itu berdiri di atas `perairan' yang dahulunya merupakan area permakaman dan persawahan warga.

 

Kampung Teko, nama asli kampung ini, menjadi kampung terapung bukan tanpa sebab. Permukiman yang berada di Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, digenangi air sejak dibangun kompleks pergudangan di sekitar Kampung Apung pada 1988. Hal ter sebut membuat daerah resapan air untuk irigasi sawah dan saluran air yang menuju Kali Angke harus terhalang sehingga membuat permukiman warga ini tergenang.

 

Akses untuk menuju Kampung Apung di hubungkan dengan sebuah jembatan beton tanpa pagar pembatas. Hal tersebut membuat warga khawatir karena berbahaya untuk anak-anak yang sedang bermain. Jembatannya kecil dan tidak ada pagar pembatas. Takutnya kita meleng anak kecebur, kan lumayan itu dalem nya ada kali tiga meter, ujar Mimin (61), salah satu warga yang sudah 50 tahun tinggal di kampung ini.

Untuk kebutuhan mencuci dan mandi, warga bergantung dengan sumur tua yang sudah dihubungkan dengan pipa.

Tidak ada tanah ataupun lapangan kosong untuk anak-anak Kampung Apung bermain. Sehari-harinya, mereka lebih akrab bermain menggunakan perahu rakitan untuk berkeliling sekitar kampung meskipun itu dapat membahayakan keselamatannya.

 

Hidup dikelilingi air di sekitar rumah bukan ber arti membuat warga sekitar mudah mendapatkan air bersih. Untuk kebutuhan mencuci dan mandi, warga bergantung dengan sumur tua yang sudah dihubungkan dengan paralon ke setiap rumah. Sementara itu, untuk minum sehari-hari, mereka harus membelinya. Kadang juga gara-gara mandi pakai air itu ada saja warga yang kena penyakit kulit kayak koreng dan kutu air, ujar Mimin.

Meskipun sudah pernah dilakukan penyedotan, hal tersebut tidak memecahkan masalah ka rena air akan kembali menggenangi Kampung Apung. Belum lagi ketika musim hujan, mereka harus merasakan banjir setiap harinya karena air yang tak kunjung surut.

 

Buruknya tata kelola bangunan yang tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungan sekitar menjadikan kampung tersebut terendam hingga puluhan tahun. Keadaan tersebut semakin parah karena terjadi setiap tahun tanpa adanya solusi.

Yogi Ardhi

Redaktur

Foto: Putra M Akbar

Kampung Apung yang tak kunjung surut